Oleh: Usep Hasan Sadikin*
Setiap tanggal 21 April, kita pasti dan selalu mengingat salah satu pahlawan bangsa yang bernama Raden Ajeng Kartini yang lebih kita kenal sebagai Ibu Kartini. Pejuang wanita yang mengangkat harkat martabat wanita, pembela hak-hak kaum hawa untuk mengecap pendidikan yang layak di jamannya. Sehingga tak heran setiap tahunnya bangsa Indonesia memperingati hari Kartini dengan berbagai macam cara. Ibu-ibu PKK biasanya mengadakan lomba pidato dengan menggunakan kebaya dan konde, di komplek-komplek perumahan lebih suka dengan mengadakan lomba masak antar keluarga, atau yang duduk di bangku sekolah cukup nyaman dengan menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini ciptaannya W.R.Supratman, atau apa saja acara yang lainnya, tergantung kalangan mana yang mengadakannya. Tetapi pada tulisan ini saya bukan mau menceritakan R.A. Kartini sebagai pahlawan yang berjasa dalam memposisikan kaum perempuan sebagaimana tempatnya. Pada kesempatan ini saya hanya mau menceritakan sepenggal kisah lain dari kehidupan Ibu Kartini.Perjalanan hidup yang membuat Kartini tercerahkan sehingga lahirlah beberapa karya dan pemikiran yang akan dikenang selalu oleh putri dan putra bangsa.
Pada masa kecilnya, Kartini mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan ketika belajar mengaji (membaca al-Qur'an). Ibu guru mengajinya memarahi dia dan menyuruh Kartini keluar ruangan ketika Katini menanyakan makna dari kata-kata dalam al-Qur'an yang diajarkan kepadanya untuk membacanya. Sejak saat itu timbullah beberapa penolakan pada diri Kartini.
"Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula agamaku Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Qur'an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahas apa pun. Disini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Disini orang diajar membaca al-Qur'an tetapi
tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajar aku membaca buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang yang baik hati, bukan begitu Stella?"
Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1890"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang aku tidak tau manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca al-Qur'an, belajar menghafal perumpamaan- perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya. Dan jangan-jangan ustadz dan ustadzahku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.?"
Surat Kartini kepada E. E. Abendanon, 15 Agustus 1902Sampai suatu ketika Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang bupati di Demak (Pangeran Ario Hadiningrat) . Di Demak waktu itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama raden ayu yang lain, dari ballik hijab (tabir). Kartini tertarik kepada materi pengajian yang disampaikan Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang. Kyai Sholeh Darat (demikian ia dikenal) sering memberikan pegajian di berbagai kabupaten di sepanjang pesisir utara Jawa. Setelah selesai acara pengajian, Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemani dia untuk menemui Kyai Sholeh Darat, "Kyai perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu namun meyembunyikan ilmunya?"
Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. "Mengapa Raden ajeng bertanya demikian?" Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.
"Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dari induk al-Qur'an yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran al-Qur'an dalam bahasa Jawa. Bukankah al-Qur'an itu kitab impinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"
Singkat cerita setelah pertemuannya dengan Kartini, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk menterjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan al-Qur'an (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Qur'an), jilid 1 yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga al-Qur'an tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya kedalam bahasa Jawa. Kalau saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (al-Qur'an) maka tidak mustahil ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua hal yang sudah dituntut Islam terhadap kemuslimahannya (termasuk jilbab). terbukti Kartini sangat beda dengan tradisi adatnya yang sudah terlanjur mapan. Kartini juga memiliki modal kehanifan yang tinggi terhadap ajaran
"Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: hamba Allah."
Surat Kartinikepada Ny. Abendanon, 1 Agustus 1903Saat mempelajari al-Islam lewat al-Qur'an terjemahan bahasa Jawa itu, Kartini menemukan dalam surat al-Baqarah ayat 257 bahwa Allahlah yang telah membimbing orang-orang yang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati Ilan-Nuur). Rupanya Kartini terkesan dengan kata-kata Minazh-Zhulumaati Ilan-Nuur yang berarti "Dari Gelap kepada Cahaya". Hal ini dikarenakan Kartini merasakan proses perubahan dirinya, dari pemikiran jahiliyah kepada pemikiran hidayah.
Dalam suratnya sebelum wafat, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kata-kata "Dari Gelap kepada Cahaya" ini. Karena Kartini selalu menulis suratnya dalam bahasa Belanda, maka kata-kata ini dia terjemahkan dengan Door Duisternis Tot Licht. Karena seringnya kata-kata tersebut muncul dalam surat-surat Kartini, maka Mr. Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai sebuah judul kumpulan surat Kartini. Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut sebenarnya dipetik dari al-Qur'an. Kemudian untuk masa-masa selanjutnya setelah Kartini meninggal, kata-kata Door Duisternis Tot Licth telah kehilangan maknanya, karena diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan istilah "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang mungkin dinilai lebih puitis tetapi justru tidak persis.
Jika demikian siapa yang mengira bahwa dibalik istilah di atas sebenarnya terkandung makna yang dalam. Itulah sepenggal kisah yang tercecer dari beberapa tulisan dan buku yang disusun oleh AsmaKarimah dalam buku yang berjudul Tragedi Kartini (sebuah pertarungan ideologi), yang kemudian saya rangkum menjadi tulisan yang sangat sederhana ini. Mudah-mudahan kita bisa mengembangkan pemikiran beliau serta menjaga dan meneruskan cita-citanya menjadi muslim atau muslimah yang kaaffah, bisa menggunakan gelar tertinggi yaitu hamba Allah (Abdullah), menyebarkan nilai-nilai al-Islam yang universal yang diakui semua pihak, golongan dan agama apapun. Amin.
"Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai."
Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902Ku lihat Ibu Kartini Sedang bersusah hati . Air matanya berlinang. Muslimah yang kita kenang Wallahu'alam
Thanks to: Allah swt; Mujahidah R.A. Kartini: AsmaKarimah (for your book)