14.5.13

stars in the sky

"Satu-satunya jalan kita menatap ruang angkasa adalah menatap kembali ke waktu sebelumnya. Kita tidak pernah tahu seperti apa alam raya sekarang, kita hanya tahu seperti apa ia waktu itu. Ketika kita melihat sebuah bintang yang jauhnya ribuan tahun cahaya, sesunggunya kita menempuh ribuan tahun kembali dalam sejarah ruang angkasa" - Dunia Sophie

Masih dari buku yang sama, namun kali ini mengingatkan saya saat saya masih kecil. Ketika malam, saya sering keluar rumah untuk membeli jajanan di toko dekat rumah yang buka sampai jam 3 pagi. Saat saya keluar rumah, saya sering memandang ke arah langit. melihat bintang bintang yang berkerlip.
Dan kalimat diatas, sekaan mengingatkan hal itu.
Saat saya masih kelas 6 SD, saya ingat ada bab tentang rasi bintang di pelajaran IPA. Ada beberapa rasi bintang, waluku, gubug penceng, scorpio, dan yang lainnya. Bahkan yang membuat saya semakin tertarik adalah salah seorang keluarga saya yang pekerjaan sehari-harinya sebagai petani pernah bercerita tentang kegunaan rasi bintang tersebut.
Sayang buku IPA kelas 6 SD saya sudah dimakan rayap-rayap yang tidak bertanggung jawab, namun ada beberapa hal yang membuat mengobati kekecewaan saya itu yaitu ketika saya pergi ke planetarium di Museum AAL Surabaya dan disana seakan akan saya berada di angkasa dan bermain bersama bintang. Serta saat ini akhirnya saya bisa melihat bintang bintang tersebut melalui software stellarium

2.5.13

The world is your classroom

'Perbedaan seorang guru sekolah dan filosof adalah guru sekolah mengira mereka tahu banyak hal yang mereka coba paksakan masuk ke tenggorokan kami. Filosof berusaha untuk memahami segala sesuatu bersama murid-murid mereka' - Dunia Sophie




Saya sedang membaca ulang novel Jostein Gaarder - Dunia Sophie, beberapa hari ini. Tadi saya membaca kalimat diatas-bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, sepertinya pas sekali kalimat tersebut. Kalimat yang diucapkan Sophie-tokoh dalam novel itu, mengena dihati saya. "Sudahkah kita bisa menjadi filosof saat bersama murid murid kita? Tentu dengan tanpa mengesampingkan esensi dari pendidikan"

Kalimat itu diucapkan Sophie setelah dia membaca surat yang berisi sejarah kehidupan Socrates, yang dia terima dari seseorang yang dia sebut sebagai guru filsafatnya. Socrates yang mengajar dengan seni berdiskusi, merasa bahwa pemahaman seorang murid bukan harus ditanamkan oleh gurunya, namun murid itu harus memiliki pemahaman yang muncul dari dirinya sendiri.

Ada dua hal dalam otak saya tentang penyataan Sophie. Yang pertama adalah terkadang kita, atau saya juga lupa, saat mengajar sebenarnya kita tidak seharusnya memaksa murid-murid kita untuk menjadi seperti kita. Namun kita seharusnya menemani dan membimbing mereka untuk menjadi diri mereka sendiri. Membuat mereka memahami kehidupan ini dari sudut pandang mereka, dan membuat mereka menjadi bijaksana dan mampu mengambil sikap yang tepat terhadap diri mereka dan kehidupan mereka. Sehingga mereka akan mengetahui mana yang baik untuk dilakukan dan mana yang tidak baik untuk dilakukan.
Dan yang kedua adalah seorang guru saat mengajar bukan hanya menyampaikan sesuatu yang dia miliki, namun juga seharusnya belajar. Bahkan muridpun juga merupakan media pembelajaran bagi seorang guru di sekolah. Bagaimana seorang guru harus bersikap terhadap murid-muridnya, bagaimana dia harus membuat murid-muridnya lebih nyaman saat mereka belajar, dan tentunya bagaimana membuat mereka lebih mudah paham terhadap apa yang disampaikannya.

Itu yang saya dapatkan dari novel Gaarder yang sedang saya baca ulang, semoga saja ini memberikan pelajaran bagi saya, agar saya bisa menjadi guru sekolah yang lebih baik.


Pic : credit2 Google